Beranda | Artikel
Jalan Islam untuk Meraih Kemuliaan
Selasa, 2 Februari 2016

Segala puji bagi Allah. Salawat dan salam semoga tercurah kepada hamba dan utusan-Nya, nabi akhir zaman dan pembawa lentera hidayah bagi segenap insan. Amma ba’du.

Islam telah menetapkan bahwa jalan kemuliaan dalam kehidupan dunia ini hanya bisa ditempuh dengan beribadah kepada-Nya. Allah berfirman (yang artinya), “Tidaklah Aku ciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka beribadah kepada-Ku.” (adz-Dzariyat : 56)

Beribadah kepada Allah adalah dengan mentauhidkan-Nya dan meninggalkan segala bentuk syirik kepada-Nya. Allah berfirman (yang artinya), “Sembahlah Allah dan janganlah kalian mempersekutukan dengan-Nya sesuatu apapun.” (an-Nisaa’ : 36)

Segala bentuk ibadah hanya boleh ditujukan kepada Allah, tidak kepada selain-Nya. Allah berfirman (yang artinya), “Dan Rabbmu memerintahkan; Janganlah kalian beribadah kecuali hanya kepada-Nya, dan kepada kedua orang tua hendaknya kalian berbuat baik.” (al-Israa’ : 23)

Beribadah kepada Allah mencakup tunduk kepada segala perintah dan larangan-Nya. Tunduk kepada Allah dan tunduk kepada Rasul. Allah berfirman (yang artinya), “Wahai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah rasul dan ulil amri diantara kalian.” (an-Nisaa’ : 59)

Setiap muslim harus tunduk kepada ketetapan Allah dan Rasul-Nya. Allah berfirman (yang artinya), “Dan tidaklah pantas bagi seorang lelaki yang beriman dan perempuan yang beriman, apabila Allah dan Rasul-Nya telah menetapkan suatu perkara kemudian masih ada bagi mereka pilihan lain dalam urusan mereka itu. Barangsiapa yang durhaka kepada Allah dan Rasul-Nya sungguh dia telah tersesat dengan kesesatan yang amat nyata.” (al-Ahzab : 36)

Setiap muslim wajib untuk kembali kepada hukum Rasul dan ridha dengannya. Allah berfirman (yang artinya), “Sekali-kali tidak, demi Rabbmu, tidaklah mereka beriman sampai mereka menjadikan kamu sebagai hakim/pemutus perkara atas segala perselisihan yang terjadi diantara mereka, kemudian mereka tidak mendapati di dalam hatinya rasa sempit atas apa yang telah kamu putuskan, dan mereka pun pasrah dengan sepenuhnya.” (an-Nisaa’ : 65)

Ketatan kepada Rasul adalah ketaatan kepada Allah. Karena Rasul berbicara dengan bimbingan wahyu dari Allah. Allah berfirman (yang artinya), “Barangsiapa yang menaati rasul itu maka sesungguhnya dia telah menaati Allah.” (an-Nisaa’ : 80). Allah juga berfirman (yang artinya), “Dan tidaklah dia -rasul- berbicara dari hawa nafsunya, tidaklah yang dia ucapkan melainkan wahyu yang diwahyukan kepadanya.” (an-Najm : 3-4)

Menentang Rasul dan mengikuti selain jalan kaum mukminin adalah sebab kehancuran dan malapetaka. Allah berfirman (yang artinya), “Barangsiapa yang menentang Rasul setelah jelas baginya petunjuk dan dia mengikuti selain jalan orang-orang beriman, maka Kami akan membiarkan dia terombang-ambing dalam kesesatan yang dia pilih, dan Kami akan memasukkannya ke dalam Jahannam, dan sesungguhnya Jahannam itu adalah seburuk-buruk tempat kembali.” (an-Nisaa’ : 115)

Yang dimaksud jalan kaum mukminin adalah jalan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam beserta para sahabatnya radhiyallahu’anhum. Allah berfirman (yang artinya), “Dan orang-orang yang terdahulu dan pertama-tama dari kalangan Muhajirin dan Anshar beserta orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik, maka Allah ridha kepada mereka, dan mereka pun ridha kepada-Nya. Allah siapkan untuk mereka surga-surga yang mengalir sungai-sungai di bawahnya, mereka kekal di dalamnya. Dan itulah kemenangan yang sangat besar.” (at-Taubah : 100)

Jalan kaum beriman itu adalah dengan berpegang-teguh dengan Kitabullah dan Sunnah Nabi-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam, inilah jalan yang akan mengantarkan umat menuju kemuliaan. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Sesungguhnya Allah akan mengangkat/memuliakan dengan sebab Kitab ini kaum-kaum, dan akan merendahkan dengan sebab Kitab ini pula kaum-kaum yang lainnya.” (HR. Muslim)

Mengikuti petunjuk al-Qur’an dan bimbingan Nabi adalah jalan keselamatan dari kesesatan dan azab Allah. Allah berfirman (yang artinya), “Maka barangsiapa yang mengikuti petunjuk-Ku niscaya dia tidak akan sesat dan tidak pula celaka.” (Thaha : 123). Hal ini tidak lain karena di dalam al-Qur’an terkandung petunjuk bagi umat manusia yang akan mengentaskan mereka dari berlapis-lapis kegelapan menuju cahaya.

Kembali kepada al-Qur’an tidak cukup dengan membacanya, tetapi harus mempelajari isinya dan menerapkannya. Oleh sebab itu Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Barangsiapa yang Allah kehendaki kebaikan padanya maka Allah pahamkan dia dalam urusan agama.” (HR. Bukhari dan Muslim). Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Sebaik-baik kalian adalah orang yang mempelajari al-Qur’an dan mengajarkannya.” (HR. Bukhari)

Keberuntungan hanya akan diberikan bagi mereka yang mengamalkan ajaran al-Qur’an; yaitu orang-orang yang mewujudkan iman dan amal salih dalam kehidupan. Allah berfirman (yang artinya), “Demi masa. Sesungguhnya manusia benar-benar berada dalam kerugian, kecuali orang-orang yang beriman, beramal salih, saling menasihati dalam kebenaran, dan saling menasihati untuk menetapi kesabaran.” (al-‘Ashr : 1-3)

Kehidupan yang bahagia hanya akan diberikan kepada mereka yang melandasi amal-amalnya dengan tauhid dan keikhlasan. Allah berfirman (yang artinya), “Barangsiapa melakukan amal salih dari kalangan lelaki atau perempuan dalam keadaan beriman, maka pasti Kami akan memberikan kepadanya kehidupan yang baik, dan Kami akan memberikan balasan kepada mereka dengan pahala yang lebih baik daripada apa yang telah mereka kerjakan.” (an-Nahl : 97)

Kecintaan kepada Allah harus dibuktikan dengan tunduk mengikuti ajaran Rasul. Allah berfirman (yang artinya), “Katakanlah; Jika kalian mengaku mencintai Allah, maka ikutilah aku, niscaya Allah akan mencintai kalian dan mengampuni dosa-dosa kalian.” (Ali ‘Imran : 31)

Meraih Kebahagiaan Dengan Iman

Iman adalah jalan untuk menuju kebahagiaan. Allah berfirman (yang artinya), “Demi masa. Sesungguhnya manusia benar-benar berada dalam kerugian, kecuali orang-orang yang beriman, beramal salih, saling menasihati dalam kebenaran dan saling menasihati untuk menetapi kesabaran.” (al-‘Ashr : 1-3)

Imam Syafi’i rahimahullah berkata, “Seandainya manusia merenungkan surat ini niscaya ia cukup bagi mereka.” (lihat Tafsir al-Qur’an al-‘Azhim oleh Imam Ibnu Katsir, 8/479)

Syaikh Abdurrahman bin Nashir as-Sa’di rahimahullah berkata, “Dengan dua hal yang pertama -iman dan amal salih, pent- maka seorang insan berusaha untuk menyempurnakan dirinya sendiri. Dengan dua hal yang terakhir ini -saling menasihati dalam kebenaran dan saling menasihati untuk menetapi kesabaran, pent- maka seorang menyempurnakan orang lain. Dan dengan menyempurnakan keempat hal ini seorang insan akan selamat dari kerugian dan akan meraih keberuntungan yang sangat besar.” (lihat Taisir al-Karim ar-Rahman, hal. 934)

Sesungguhnya iman dan amal salih adalah sebab utama untuk meraih kebahagiaan di dunia dan di akhirat. Semakin bagus seorang hamba dalam mewujudkan iman dan amal salih maka semakin besar pula kebahagiaan yang akan didapatkan olehnya (lihat keterangan Syaikh as-Sa’di rahimahullah dalam Taisir al-Lathif al-Mannan, hal. 346)

Iman dan amal salih inilah yang akan membuahkan kehidupan yang baik di dunia dan di akhirat. Hal ini sebagaimana difirmankan oleh Allah (yang artinya), “Barangsiapa melakukan amal salih dari kalangan lelaki atau perempuan dalam keadaan beriman, maka benar-benar Kami akan memberikan kepadanya kehidupan yang baik, dan benar-benar Kami akan berikan balasan untuk mereka dengan pahala yang lebih baik dari apa yang mereka kerjakan.” (an-Nahl : 97).

Hal itu disebabkan karena salah satu keistimewaan iman adalah ia membuahkan ketentraman hati dan ketenangan serta merasa cukup dengan rizki yang Allah berikan kepadanya dan juga karena dia tidak menggantungkan hati kepada selain-Nya. Inilah kehidupan yang baik itu. Karena sesungguhnya pokok kehidupan yang baik itu adalah kelapangan dan ketentraman hati serta tidak dirundung kegelisahan sebagaimana keadaan orang yang tidak memiliki keimanan yang benar (lihat keterangan Syaikh as-Sa’di rahimahullah dalam Taudhih wal Bayan li Syajaratil Iman, hal. 73)

Orang yang beriman dan beramal salih akan mendapatkan curahan petunjuk dari Allah. Hal ini sebagaimana dijelaskan oleh Allah dalam firman-Nya (yang artinya), “Sesungguhnya orang-orang yang beriman dan beramal salih maka Rabb mereka akan memberikan petunjuk kepada mereka dengan sebab keimanan mereka itu.” (Yunus : 9). Maksudnya Allah akan memberikan petunjuk kepadanya jalan yang lurus. Allah tunjuki dia kepada ilmu yang benar dan beramal dengannya. Allah tunjuki dia untuk bersyukur ketika mendapatkan hal yang menyenangkan/kenikmatan. Allah berikan petunjuk kepadanya untuk ridha dan sabar ketika tertimpa hal-hal yang tidak menyenangkan dan musibah (lihat Taudhih wal Bayan li Syajaratil Iman, hal. 75)

Orang yang beriman dan beramal salih akan mendapatkan kenikmatan surga di akhirat kelak. Allah berfirman (yang artinya), “Dan berikanlah kabar gembira kepada orang-orang yang beriman dan beramal salih bahwa bagi mereka surga-surga yang mengalir di bawahnya sungai-sungai.” (al-Baqarah : 25)

Orang yang beriman dan tidak mencampuri imannya dengan syirik maka Allah akan memberikan kepadanya keamanan dan petunjuk. Allah berfirman (yang artinya), “Orang-orang yang beriman dan tidak mencampuri imannya dengan kezaliman/syirik, mereka itulah yang akan mendapatkan keamanan dan mereka itulah orang-orang yang diberikan petunjuk.” (al-An’am : 82)

Kunci Keberuntungan

Syaikh Abdul Muhsin al-‘Abbad hafizhahullah berkata, “…Perkara paling agung yang diserukan oleh Nabi kepada umatnya adalah mengesakan Allah dalam beribadah. Dan perkara terbesar yang beliau larang umat darinya adalah mempersekutukan bersama-Nya sesuatu apapun dalam hal ibadah. Beliau telah mengumumkan hal itu ketika pertama kali beliau diangkat sebagai rasul oleh Allah, yaitu ketika beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Wahai manusia! Ucapkanlah laa ilaha illallah niscaya kalian beruntung.” (HR. Ahmad dengan sanad sahih, hadits no 16603)…” (lihat Kutub wa Rasa’il Abdil Muhsin, 4/362)

Bukanlah yang dimaksud semata-mata mengucapkan laa ilaha illallah dengan lisan tanpa memahami maknanya. Anda harus mempelajari apa makna laa ilaha illallah. Adapun apabila anda mengucapkannya sementara anda tidak mengetahui maknanya maka anda tidak bisa meyakini apa yang terkandung di dalamnya. Sebab bagaimana mungkin anda meyakini sesuatu yang anda sendiri tidak mengerti tentangnya. Oleh sebab itu anda harus mengetahui maknanya sehingga bisa meyakininya. Anda yakini dengan hati apa-apa yang anda ucapkan dengan lisan. Maka wajib bagi anda untuk mempelajari makna laa ilaha illallah. Adapun sekedar mengucapkan dengan lisan tanpa memahami maknanya, maka hal ini tidak berfaidah sama sekali (lihat keterangan Syaikh Shalih al-Fauzan hafizhahullah dalam Syarh Tafsir Kalimat Tauhid, hal. 10-11)

Kaum musyrikin di masa silam telah memahami bahwa kalimat laa ilaha illallah menuntut mereka untuk meninggalkan segala sesembahan selain Allah.

Ketika Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata kepada kaum kafir Quraisy, “Ucapkanlah laa ilaha illallah.” Maka mereka mengatakan (yang artinya), “Apakah dia -Muhammad- hendak menjadikan sesembahan-sesembahan ini menjadi satu sesembahan saja, sesungguhnya hal ini adalah sesuatu yang sangat mengherankan.” (Shaad : 5) (HR. Ahmad)

Syaikh Shalih al-Fauzan hafizhahullah berkata, “Maka mereka memahami bahwasanya kalimat ini menuntut dihapuskannya peribadatan kepada segala berhala dan membatasi ibadah hanya untuk Allah saja, sedangkan mereka tidak menghendaki hal itu. Maka jelaslah dengan makna ini bahwa makna dan konsekuensi dari laa ilaha illallah adalah mengesakan Allah dalam beribadah dan meninggalkan ibadah kepada selain-Nya.” (lihat Ma’na Laa Ilaha Illallah, hal. 31)

Kalimat laa ilaha illallah mewajibkan setiap muslim untuk beribadah kepada Allah dan meninggalkan segala bentuk perbuatan syirik. Inilah yang tidak dikehendaki oleh orang-orang musyrik kala itu. Allah berfirman (yang artinya), “Sesungguhnya mereka itu dahulu ketika dikatakan kepada mereka laa ilaha illallah, maka mereka menyombongkan diri. Mereka pun mengatakan ‘Apakah kami harus meninggalkan sesembahan-sesembahan kami karena seorang penyair yang gila’.” (ash-Shaffat : 35-36)

Berpegang-teguh dengan kalimat tauhid ini adalah dengan mengingkari segala sesembahan selain Allah (thaghut) dan beribadah kepada Allah semata. Sebagaimana firman-Nya (yang artinya), “Maka barangsiapa yang kufur kepada thaghut dan beriman kepada Allah, sesungguhnya dia telah berpegang-teguh dengan buhul tali yang sangat kuat dan tidak akan terputus. Dan Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.” (al-Baqarah : 256)

Buhul tali yang sangat kuat atau al-‘Urwatul Wutsqa yang dimaksud dalam ayat ini mengandung banyak makna. Mujahid menafsirkannya dengan iman. as-Suddi menafsirkan bahwa maksudnya adalah Islam. Sa’id bin Jubair dan adh-Dhahhak menafsirkan bahwa maksudnya adalah kalimat laa ilaha illallah. Anas bin Malik menafsirkan maksudnya adalah al-Qur’an. Salim bin Abil Ja’d menafsirkan bahwa yang dimaksud adalah cinta karena Allah dan benci karena Allah. Imam Ibnu Katsir rahimahullah menyimpulkan, “Semua pendapat ini adalah benar dan tidak bertentangan satu sama lain.” (lihat Tafsir al-Qur’an al-‘Azhim, 1/684)

Beribadah kepada Allah dan meninggalkan ibadah kepada selain-Nya, inilah makna tauhid. Adapun beribadah kepada Allah tanpa meninggalkan ibadah kepada selain-Nya, ini bukanlah tauhid. Orang-orang musyrik beribadah kepada Allah, akan tetapi mereka juga beribadah kepada selain-Nya sehingga dengan sebab itulah mereka tergolong sebagai orang musyrik. Maka bukanlah yang terpenting itu adalah seorang beribadah kepada Allah, itu saja. Akan tetapi yang terpenting ialah beribadah kepada Allah dan meninggalkan ibadah kepada selain-Nya. Kalau tidak seperti itu maka dia tidak dikatakan sebagai hamba yang beribadah kepada Allah. Bahkan ia juga tidak menjadi seorang muwahhid/ahli tauhid. Orang yang melakukan sholat, puasa, dan haji tetapi dia tidak meninggalkan ibadah kepada selain Allah maka dia bukanlah muslim (lihat keterangan Syaikh Shalih al-Fauzan hafizhahullah dalam I’anatul Mustafid, Jilid 1 hal. 38-39)

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata, “Ikhlas adalah hakikat agama Islam. Karena islam itu adalah kepasrahan kepada Allah, bukan kepada selain-Nya. Maka barangsiapa yang tidak pasrah kepada Allah sesungguhnya dia telah bersikap sombong. Dan barangsiapa yang pasrah kepada Allah dan kepada selain-Nya maka dia telah berbuat syirik. Dan kedua-duanya, yaitu sombong dan syirik bertentangan dengan islam. Oleh sebab itulah pokok ajaran islam adalah syahadat laa ilaha illallah; dan ia mengandung ibadah kepada Allah semata dan meninggalkan ibadah kepada selain-Nya. Itulah keislaman yang bersifat umum yang tidaklah menerima dari kaum yang pertama maupun kaum yang terakhir suatu agama selain agama itu. Sebagaimana firman Allah ta’ala (yang artinya), “Barangsiapa yang mencari selain Islam sebagai agama maka tidak akan diterima darinya, dan di akhirat dia pasti akan termasuk golongan orang-orang yang merugi.” (Ali ‘Imran: 85)…” (lihat Mawa’izh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, hal. 30)

Ibnu Taimiyah rahimahullah juga berkata, “Banyak orang yang mengidap riya’ dan ujub. Riya’ termasuk perbuatan mempersekutukan Allah dengan makhluk. Adapun ujub merupakan bentuk mempersekutukan Allah dengan diri sendiri, dan inilah kondisi orang yang sombong. Seorang yang riya’ berarti tidak melaksanakan kandungan Iyyaka na’budu. Adapun orang yang ujub maka dia tidak mewujudkan kandungan Iyyaka nasta’in. Barangsiapa mewujudkan maksud Iyyaka na’budu maka dia terbebas dari riya’. Dan barangsiapa mewujudkan maksud Iyyaka nasta’in maka dia akan terbebas dari ujub…” (lihat Mawa’izh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, hal. 83)

Syaikh Shalih al-Fauzan hafizhahullah berkata, “Maka bukanlah perkara yang terpenting adalah bagaimana orang itu melakukan puasa atau sholat, atau memperbanyak ibadah-ibadah. Sebab yang terpenting adalah ikhlas. Oleh sebab itu sedikit namun dibarengi dengan keikhlasan itu lebih baik daripada banyak tanpa disertai keikhlasan. Seandainya ada seorang insan yang melakukan sholat di malam hari dan di siang hari, bersedekah dengan harta-hartanya, dan melakukan berbagai macam amalan akan tetapi tanpa keikhlasan maka tidak ada faidah pada amalnya itu; karena itulah dibutuhkan keikhlasan…” (lihat Silsilah Syarh Rasa’il, hal. 17-18)

Imam Ibnul Qoyyim rahimahulllah berkata, “… Seandainya ilmu bisa bermanfaat tanpa amalan niscaya Allah Yang Maha Suci tidak akan mencela para pendeta Ahli Kitab. Dan jika seandainya amalan bisa bermanfaat tanpa adanya keikhlasan niscaya Allah juga tidak akan mencela orang-orang munafik.” (lihat al-Fawa’id, hal. 34).


Artikel asli: https://www.al-mubarok.com/jalan-islam-untuk-meraih-kemuliaan/